MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA
“PENCEMARAN AIR KALI SURABAYA OLEH
LIMBAH ( PT
SIDOMAKMUR DAN PT SIDOMULYO )”
DISUSUN
O
L
E
H
NURUL AIN FARHANA
(1303144884)
JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKAN DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM
2014
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat-Nya sehingga pada
kesempatan ini saya masih diberi kesehatan untuk menulis sebuah makalah untuk
memenuhi tugas pancasila tentang pancasila dalam era globalisasi tentang kasus
pencemaran limbah di Kali Surabaya.
Makalah
ini saya tujukan terutama buat dosen matakuliah Pancasila yakni Bapak Separen,
S.Pd., MH, dan buat pembaca semuanya. Dalam makalah ini saya membahas mengenai
masalah-masalah pencemaran limbah di Kali Surabaya. Dari pengertian lingkungan
hidup, penegakan hukum lingkungan hidup, penyebab terjadinya pencemaran di Kali
Surabaya, salah satu kasus pencemaran limbah tahu di Kali Surabaya, hingga
solusi mengatasi pencemaran tersebut.
Demikianlah
yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini bermanfaat dan jika terdapat
kekurangan saya menerima kritik dan saran dari pembaca guna kesempurnaan
makalah ini. Walaupun kesempurnaan itu hanya milik Tuhan.
Pekanbaru,
07 Desember 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah.............................................................. 2
1.3 Tujuan.................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Lingkungan Hidup............................................ 3
2.2 Penegakan Hukum Lingkungan Hidup............................. 3
2.3 Penyebab Terjadinya Pencemaran di
Kali Surabaya....... 6
2.4 Kasus Pencemaran Limbah Tahu di
Kali Surabaya......... 7
2.5 Penyelesaian Pada Kasus di Kali
Surabaya....................... 13
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................... 18
3.2 Saran .................................................................................... 18
DAFTAR
PUSTAKA.......................................................................... 19
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegiatan pembangunan yang makin
meningkat mengandung resiko. Makin meningkatnya resiko makin meningkat
pencemaran dan perusakan lingkungan, termasuk oleh limbah Bahan Berbahaya
Beracun (B3), sehingga struktur dan fungsi ekosistem yang menjadi penunjang
kehidupan dapat rusak. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup akan
menjadi beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat dan pemerintah harus
menanggung biaya pemulihannya[1].
Limbah adalah sisa suatu usaha dan/ kegiatan[2]. Limbah adalah buangan yang
dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah
tangga), yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak
dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau
secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia organik dan anorganik.
Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak
negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu
dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan
oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah.
Menyadari hal di atas, bahan
berbahaya dan beracun beserta limbahnya harus dikelola dengan baik. Makin
meningkatnya kegiatan pembangunan, dalam hal ini pabrik-pabrik atau
indutri-industri menyebabkan meningkatnya dampak kegiatan tersebut terhadap
lingkungan hidup, keadaan ini makin mendorong diperlukannya upaya pengendalian
dampaknya, sehingga resiko terhadap lingkungan dapat ditekan sekecil mungkin.
Upaya pengendalian dampak terhadap
lingkungan sangat ditentukan oleh pengawasan terhadap ditaatinya ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur segi-segi lingkungan hidup, sebagai
perangkat hukum yang bersifat preventif melalui proses perizinan untuk
melakukan usaha dan atau kegiatan. Oleh karena itu dalam setiap izin yang
diterbitkan, harus dicantumkan secara tegas syarat dan kewajiban yang harus
dipatuhi dan dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan tersebut.
1.2 Perumusan
Masalah
Berdasarkan uraian diatas, tulisan ini secara khusus
akan membahas permasalahan :
1.
Apa yang dimaksud dengan lingkungan hidup?
2.
Apa saja penegakan hukum lingkungan hidup?
3.
Apa yang menyebabkan tercemarnya Kali Surabaya?
4.
Apa contoh tentang pencemaran Kali Surabaya?
5.
Manakah yang sesuai studi kasus Kali Surabaya dengan
solusi penegakan Hukum Lingkungan Hidup?
1.3 Tujuan
Tujuan dari di susunnya makalah ini
dengan judul “Pencemaran Air Kali Surabaya oleh Limbah (PT Sidomakmur dan PT
Sidomulyo)” adalah untuk melengkapi tugas matakuliah Pendidikan Pancasila
tentang Pancasila dalam era globalisasi.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penyusunan makalah yang berjudul “Pencemaran
Air Kali Surabaya oleh Limbah (PT Sidomakmur dan PT Sidomulyo)” ini adalah menambah wawasan para pembaca, terutama
untuk penulisnya sendiri dan para mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu
pengetahuan Alam Jurusan Matematika Universitas Riau mengenai masalah lingkungan hidup yang terjadi di Kali
Surabaya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Lingkunga Hidup
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain[3].
Selanjutnya
kita akan membahas definsi dari pencemaran. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pencemaran adalah
masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke
dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang telah ditetapkan[4].
Makna dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya
sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan
hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan,
dan penegakan hukum.
2.2 Penegakan Hukum Lingkungan Hidup
Penegakan hukum mempunyai makna, bagaimana hukum itu harus dilaksanakan,
sehingga dalam penegakan hukum tersebut harus diperhatikan unsur-unsur
kepastian hukum. Kepastian hukum menghendaki bagaimana hukum dilaksanakan,
tanpa perduli bagaimana pahitnya (fiat
jutitia et pereat mundus; meskipun dunia ini runtuh hukum harus
ditegakkan). Hal ini dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam
masyrakat.sebaliknya masyarakat menghendaki adannya manfaat dalam pelaksanaan
peraturan atau penegakan hukum lingkungan tersebut. Hukum lingkungan dibuat
dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dan memberi manfaat kepada
masyarakat. Artinya peraturan tersebut dibuat adalah untuk kepentingan
masyarakat, sehingga jangan sampai terjadi bahwa, karena dilaksanakannya
peraturan tersebut, masyarakat justru menjadi resah. Unsur ketiga adalah
keadilan.
Dalam penegakan hukum lingkungan
harus diperhatikan, namun demikian hukum tidak identik dengan keadilan, karena
hukum itu sifatnya umum, mengikat semua orang, dan menyamaratakan. Dalam
penataan dan penegakan hukum lingkungan, unsur kepastian, unsur kemanfaatan, dan
unsur keadilan harus dikompromikan, ketiganya harus mendapat perhatian secara
proporsional. Sehingga lingkungan yang tercemar dapat dipulihkan kembali[5].
Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan
aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku, yang
meliputi tiga bidang hukum, yaitu administratif, pidana, dan perdata[6].
Berikut adalah sarana penegakan hukum:
Sarana administrasi dapat bersifat preventif dan
bertujuan menegakkan peraturan perundang-undangan lingkungan. Penegakan hukum
dapat diterapkan terhadap kegiatan yang menyangkut persyaratan perizinan, baku
mutu lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan (RKL), dan sebagainya.
Disamping pembinaan berupa petunjuk dan panduan serta pengawasan administratif,
kepada pengusaha di bidang industri, hendaknya juga ditanamkan manfaat konsep “Pollution Prevention Pays” dalam proses
produksinya.
Penindakan represif oleh penguasa terhadap pelanggaran
peraturan perundang-undangan lingkungan administratif pada dasarnya bertujuan
untuk mengakhiri secara langsung pelanggaran-pelanggaran tersebut.
Sanksi administratif terutama mempunyai fungsi
instrumental, yaitu pengendalian perbuatan terlarang. Disamping itu, sanksi
administratif terutama ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang dijaga
oleh ketentuan yang dilanggar tersebut. Beberapa jenis sarana penegakkan hukum
administrasi adalah :
a.
Paksaan pemerintah atau tindakan paksa;
b.
Uang paksa;
c.
Penutupan tempat usaha;
d.
Penghentian kegiatan mesin perusahaan;
e.
Pencabutan izin melalui proses teguran, paksaan
pemerintah, penutupan, dan uang paksa.
Tata cara penindakannya tunduk pada undang-undang No.
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Peranan Penyidik sangat penting,
karena berfungsi mengumpulkan bahan/alat bukti yang seringkali bersifat ilmiah.
Dalam kasus perusakan dan/atau pencemaran lingkungan terdapat kesulitan bagi
aparat penyidik untuk menyediakan alat bukti yang sah sesuai ketentuan Pasal
183 dan Pasal 184 KUHAP. Selain itu, pembuktian unsur hubungan kausal merupakan
kendala tersendiri mengingat terjadinya pencemaran seringkali secara kumulatif,
sehingga untuk membuktikan sumber pencemaran yang bersifat kimiawi sangat
sulit. Penindakan atau pengenaan sanksi pidana adalah merupakan upaya terakhir
setelah sanksi administratif dan perdata diterapkan.
Mengenai hal ini perlu dibedakan antara penerapan
hukum perdata oleh instansi yang berwenang melaksanakan kebijaksaan lingkungan
dan penerapan hukum perdata untuk memaksakan kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan lingkungan. Misalnya, penguasa dapat menetapkan persyaratan
perlindungan lingkungan terhadap penjualan atau pemberian hak membuka tanah
atas sebidang tanah. Selain itu, terdapat kemungkinan “beracara singkat” bagi
pihak ketiga yang berkepetingan untuk menggugat kepatuhan terhadap
undang-undang dan permohonan agar terhadap larangan atau keharusan dikaitkan
dengan uang paksa. Penegakan hukum perdata ini dapat berupa gugatan ganti
kerugian dan biaya pemulihan lingkungan.
2.3 Penyebab
Terjadinya Pencemara Kali Surabaya
Kali
Surabaya sepanjang +50 km merupakan cabang dari Kali Brantas yang airnya
digunakan untuk berbagaimaca keperluan termasuk:
1. Air
baku instalasi pengolahan air bersih di Ngagel yang digunakan untuk kepentingan
penduduk kota Surabaya,
2. Irigasi
untuk sebagian daerah sistem delta Brantas,
3. Industri-industri
yang berada di Surabya dan sepanjang Kali Surabaya yang berada di wilayah
Kabupaten Gresik,
4. Perikanan
tambak yang penyaluran airnya melalui kanal-kanal irigasi,
5. Penggolontoran
dan pengeceran ir buangan yang berada dalam saluran-saluran drainase Kota
Surabaya,
6. Pembawa
buangan-buangan industri dan rumah tangga menuju ke Laut.
Keanekaragaman
kegunaan air Kali Surabaya yang satu sama lain bertolak belakang sangat jelas
terlihat disatu pihak air digunakan untuk kelangsungan hidup manusia, di lain
pihak air pada saat yang sama sebagai saluran tempat membuang air kotor dari
industri dan rumah tangga. Oleh karena itu kesehatan penduduk kota Surabaya dan
instalasi pengolahan air bersihnya dalam keadaan terancam oleh buruknya
kualitas air Kali Surabaya dan cabang-cabangnya akibat pencemaran limbah.
Dengan
bertambah kuatnya tekanan untuk mengembangkan industri serta bertambahnya
penduduk disepanjang Kali Surabaya maka perlu tindakan yang cepat dan tepat
untuk mengendalikan kualitas air Kali Surabaya (Kali Surabaya Polution Control
Study, Ditjen Cipta Karya Dep. PU. 1985).
Disekitaran
Kali Surabaya juga terdapat banyak sekali pabrik-pabrik. Melihat jumlah pabrik
yang di sepanjang Kali Surabaya (sekitar 200 buah) tentu saja limbah yang
dihasilkannya juga besar. Limbah ini dapat berupa bahan organik dan bahan
anorganik. Pabrik yang dapat mengeluarkan limbah organik adalah pabrik bumbu
masak (Mi-won, Ajinomoto), pabrik minyak makan (Princolin, Bawang Berlian, dan
lain-lain), pabrik detergent (joyoboyo, dan lain-lain), yang juga menghasilkan
limbah fosfat dan sulfat, pabrik kertas (Surya Kertas, Mekabox, dan Supamra),
pabrik kulit (PT HAKKA), pabrik teh, pabrik makanan ternak, pabrik tahu, dan
lain-lain.
Pabrik
yang dapat menegeluarkan limbah anorganik adalah pabrik pipa besi, pabrik kawat
besi, pabrik paku dan sekrup, pabrik-pabrik ini menghasilkan endapan Fe(OH)2
dan Fe(OH)3 serta Zn(OH)2 dan juga Fe(Cl)3 dan
Cl ion.
Pabrik
sepeda dan onderdil-onderdilnya dapat mengeluarkan limbah cair yang mengandung
Cr ion, Cd ion, Cu ion, Ni ion, Zn ion, yang amat sangat berbahaya bagi
kesehatan manusia, karena ion-ion logam tersebut sangat bersifat racun pada
konsentrasi tertentu.
Selain
limbah pabrik, ada juga limbah dari kegiatan pertanian yang mencemari Kali
Surabaya. Limbah tersebut berupa pupuk kandang, pupuk urea, pupuk tri super
phosphat, pupuk ZA, serta insektisida. Pupuk dan insektisida ini dapat dibawa
air irigasi dan masuk kembali kesungai. Pupuk-pupuk tersebut akan memacu
pertumbuhan mikroba, algae, plankton, enceng gondok, kangkung, dan
tumbuh-tumbuhan air lainnya di Kali Surabaya.
2.4 Kasus Pencemaran Limbah Tahu di Kali
Surabaya
Ada
bebarapa banyak penyebab tercemarnya Kali Surabaya, namun pada makalah ini akan
dibahas mengenai limbah tahu yang menjadi penyebab tercemarnya Kali Surabaya.
Perkara
ini diajukan oleh jaksa penuntut umum sebagai delik lingkungan, yaitu
pencemaran air Kali Surabaya akibat limbah tahu dan limbah kotoran babi oleh
terdakwa Bambang Goenawan, direktur PT Sidomakmur dan PT Sidomulyo serta
diputus PN Sidoarjo tanggal 6 Mei 1989 Nomor: 122/pid/1989/PN.Sda.
Duduk
perkaranya menurut Surat Dkwaan Jaksa Penuntut Umum tertanggal 6 November 1988,
primer dan subsider sebagai berikut: terdakwa Bambang Geonawan alias Oei Ling
Gwat, lahir di Surabaya, umur 48 tahun, jenis kelamin laki-laki, kebnagsaan
Indonesia, keturunan Cina, tempat tinggal Jl. Ngagel No. 125-127 Surabaya,
agama Katolik, pekerjaan Direktur PT Sidomakmur dan PT Sidomulyo dihadapkan ke
pengadilan PN Sidoarjo dengan dakwaan bahwa antara bulan Maret 1986-Juli 1988,
di perusahaan PT Sidomakmur dan PT Sidomulyo yang terletak di Desa Sidomulyo,
Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, telah terjadi perbuatan yang menyebabkan
rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya dengan cara terdakwa sebagai
pengusaha PT Sidomakmur yang memproduksi tahu, membuang air limbahnya ke Kali
Surabaya yang mengandung BOD 3095,4 mg/l dan mengandung COD 12293 mg/l dan juga
sebagai pengusaha PT Sidomulyo yang berupa perternakan babi membuang limbah
kotoran babi ke Kali Surabaya yang mengandung BOD 426,3 mg/l dan COD 1802,9
mg/l sebagaimana hasil pemeriksaan air limbah yang dilakukan oleh Balai Teknik
Kesehatan Lingkungan tanggal 20 Juli 1988 No.261/Pem/BTKL.Pa/VII/1988.
Kandungan limbah tersebut melebihi ambang batas yang ditetapkan SK Gubernur
Jawa Timur No. 43 Tahun 1978, yaitu maksimum BOD 30 mg/l dan COD 80 mg/l.
Terdakwa
sebagai pengusaha PT Sidomakmur dan PT Sidomulyo telah membuat instalasi
(septitank) yang tidak memenuhi daya tampung limbah kedua perusahaan tersebut,
sehngga air limbah/kotoran melebur keluar dan mengalir ke Kali Surabaya.
Pembuangan air limbah tersebut, menyebabkan menurunnya kualitas air Kali
Surabaya dan menyebabkan air kekurangan oksigen yang berakibat matinya
kehidupan dalam air serta sangat sukar untuk diolah menjadi air bersih untuk
bahan baku PDAM.
Melanggar : Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang No. 4
Tahun 1982 dengan unsur-unsur:
a. Barang
siapa;
b. Dengan
sengaja;
c. Melakukan
perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup.
Subsider : Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang No.
4 Tahun 1982 dengan unsur-unsur:
a. Barang
siapa;
b. Karena
kelalaiannya;
c. Melakukan
perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya
lingkungan hidup.
Pada tanggal 23
Februari 1989, tuntutan pidana dibacakan, pada pokoknya berbunyi:
Menyatakan
Terdakwa Bambang Goenawan bersalah karena kelalaiannya, melakukan perbuatan
menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup Pasal
22 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun
1982 (dakwaan subsider).
Menjatuhkan
pidana terhadap Bambang Geonawan selama 6 (enam) bulan dalam masa percobaan 1
(satu) tahun dan denda Rp1.000.000,00 subsider 2 (dua) bulan kurungan;
Menetapkan
agar terdakwa membayar biaya sebesar Rp2.500,00
Pledoi
penasehat hukum dibacakan tanggal 11 Maret 1989, dengan kesimpulan:
1. Menolak
dakwaan dan tuntutan Penuntut Umum yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah
melakukan perbuatan kelalaian sebagaimana dimaksud pada tuntutannya (tanggal 23
Februari 1989).
2. Menyatakan
batal demi hukum dakwaan sehingga melanggar Pasal 143 (1) KUHAP atau menyatakan
dakwaan Jaksa kurang cukup bukti dan tidak beralasan, menurut hukum harus
ditolak.
3. Menyatakan
dakwaan Bambang Goenawan tidak bersalah melakukan perbutan pidana sebagaimana
yang didakwakan dan karena itu membebaskannya dari segala tuduhan hukum atau
melepaskan dari segala tuduhan hukum atau melepaskan dari segala tuntutan hukum
(vide Pasal 191 KUHP).
4. Menyatakan
untuk merehabilitasi nama baik terdakwa di mata umum (vide Pasal 97 KUHP).
5. Membebankan
biaya perkara ini pada negara.
Dalam
pemeriksaan terhadap Rochim Kepalan Dinas Perikanan Kabupaten Sidoarjo,
diperoleh keterangan bahwa: ditemukan adanya sejumlah ikan yang mengembang di
permukaan air Kali Surabaya, tetapi tidak dapat dipastikan apakah ikan yang
mengembang di permukaan air Kali Surabaya itu sebagai akibat dari tercemarnya
Kali Surabaya yang disebabkan oleh limbah tahu industri yang dibuang terdakwa
ke kali tersebut. Selain bnayak faktor yang menyebabkan ikan bisa mati lemas,
juga mengingat banyaknya perusahaan lain yang membuang limbahnya ke Kali
Surabaya.
Saksi
Soekarsono Dirdja Sukarta, B.A. Pejabat PDAM Surabya menyatakan bahwa: pernah kadar
kimia air Kali Surabya yang diolah menjadi air minum sangat tinggi, sehingga
PDAM harus mengeluarkan biaya tinggi untuk menormalkan kembalikadar air
tersebut, namun tidak dapat dipastikan kalau kejadian itu disebabkan oleh
limbah tahu yang dibuang terdakwa ke Kali Surabaya, yang pasti, kejadian itu
akibat dari tercemarnya Kali Surabaya, yang pasti kejadian itu akibat dari
tercemarnya Kali Surabaya, tetapi siapa sesungguhnya yang mencemarkan, saksi
tidak dapat menentukan, karena pada kenyataannya banyak perusahaan yang
membuang air limbah pabriknya ke Kali Surabaya.
Majelis
hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara telah mengadakan pemeriksaan di
lokasi perusahaan dengan konfirmasi keterangan terdakwa sendiri dengan hasil
sebagai berikut :
1. Di
lokasi, yang dibuang itu adalah bekas air rendaman kedelai bercampur kulit
kedelai yang mengalir melalui saluran-saluran kecil di dalam pabrik menuju
septitank.
2. Tidak
ada air yang dibuang setelah kedelai dimasak, karena yang tinggal hanya air
kedelai diendapkan menjadi tahu. Ampasnya ditampung pada tempat penampungan
untuk dikonsumsi oleh ternak.
3. Air
cucian/rendaman diendapkan di beberapa septitank dialirkan keselokan menuju
danau kecil di lokasi perusahaan.
4. Dalam
proses pembuatan tahu tidak menggunakan cuka.
5. Di
sekitar pekarangan pabrik ada beberapa kelompok septitank yang masing-masing
berukuran panjang 4m, lebar 3m, dalam 3m, yang dahulu digunakan sebagai bak
penampungan/pengendapan, penyaringan dan pembuangan air ke kali. Sekarang tidak
di gunakan lagi, karena limbah setelah diendapkan pada kelompok bak penampungan
pertama langsung dialirkan ke danau-danau kecil pada lahan di lokasi
perusahaan.
6. Pada
kandang babi terdapat 10 kandang.
7. Limbah
air cucian ternak dan kotoran babi dari dalam kandang mengalir ke kiri kanan
melalui parit-parit bersemen keselokan besar lebar 2m, dalam 1m, panjang 500m.
8. Terdapat
septitank limbah termasuk ternak babi yang tidak terpakai lagi dan ditutup atas
perintah Sekwilda Tingkat II Sidoarjo.
9. Sekarang
tidak ada lagi pembungan limbah dalam keadaan bagaimana pun ke Kali Surabaya
karena semua saluran pembuangan ditutup dengan beton semen.
10. Kedua
perusahaan tersebut mempunyai izin dan memenuhi syarat serta ditinjau Sekwilda
Kabupaten Sidoarjo.
11. Air
limbah telah dibuatkan bak pengendapan dan tidak benar sampai melebur ke Kali
Surabaya, terkecuali jika turun hujan lebat, mau tidak mau terjadi
perembesan-perembesan dan masuk ke Kali Surabaya.
12. Air
yang dipergunakan memproses tahu di ambil dari Kali Surabaya berdasarkan surat
izin dari Gubernur Jawa Timur yang sudah ada dan telah dimiliki oleh terdakwa.
Selain
itu, dalam pemeriksaan perkara diketemukan ketidaksesuaian alat bukti mengenai
basarnya BOD dan COD dari limbah tahu. Perbedaan hasil penelitian tersebut
membuat Majelis Hakim ragu-ragu terhadap kebenaran dari besarnya BOD dan COD
tersebut, sehingga ditetapkan asas In
Dubio Pro Reo (putusan yang menguntungkan terdakwa).
Di
samping itu, menurut Majelis Hakim, karena tidak adanya hasil penelitian
tersendiri tentang akibat yang timbul dari limbah yang dibuang ke kali, maka
kasus tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada terdakwa. Oleh
karenanya pada tanggal 6 Mei 1989, putusan PN Sidoarjo :
1. Menyatakan
Bambang Goenawan alias Oei Ling Gwat telah melakukan perbuatan membuang limbah
industri tahu ke Kali Surabaya, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu
tindakan pidana, yakni tidak menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup.
2. Menyatakan
oleh karena itu terdakwa diputus “lepas” dari segala tuntutan hukum.
3. Membebankan
biaya perkara kepada negara.
4. Menetapkan
surat-surat yang diperiksa sebagai alat bukti tetap terlampir dalam berkas.
Berkaitan dengan
adanya putusan PN Sidoarjo, Siti Sundari Rangkuti mengatakan bahwa baik jaksa
maupun hakim sangat dipengaruhi oleh pemikiran ilmu hukum pidana, sedangkan
pledoi penasihat hukum tidak mengandung argumentasi yang mencerminkan
penguasaan materi hukum lingkungan. Kepolisisan, kejaksaan dan juga penasihat
hukum berpendapat bahwa perbuatan “melanggar
baku mutu air limbah” identik dengan “mencemarkan
air Kali Surabaya” yang merupakan tindakan pidana lingkungan dan terkena
Pasal 22 UULH. Dari sudut pandang yang demikian dapatlah dimengerti, mengapa
sampai terjadi perbedaan persepsi dalam proses pemeriksaan perkara “pencemaran” Kali Surabaya tersebut yang
dibahas dengan pemikiran Hukum Lingkungan[10]:
Perbuatan terdakwa
sesuai dengan pemeriksaan air limbah oleh laboratorium Balai Teknik Kesehatan
Lingkungan (BTKL) sebagai saksi ahli, terbukti melanggar Baku Mutu Air Limbah
yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur Nomor 44
Tahun 1987 tentang Penggolongan dan Baku Mutu Air Limbah di Jawa Timur, dan
bukan mencemarkan air Kali Surabaya yang tunduk pada Pasal 22 UULH. Air Kali
Surabaya yang menjadi cemar akibat perbuatan terdakwa , yaitu korban pencemaran,
tidak pernah diajukan sebagai alat bukti untuk syarat pembuktian hubungan
kausal antara limbah terdakwa dengan cemarnya air yang merupakan salah satu
unsur delik lingkungan. Dengan demikian, pertimbangan hakim tentang asas In
Dubio Pro Reo (yang menguntungkan bagi terdakwa) karena perbedaan hasil
pemeriksaan tentang besarnya BOD dan COD yang terkandung dalam limbah tahu oleh
Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Kanwil Dep. Penindustrian Jawa Timur
dengan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dalam kasus ini, menjadi tidak
relevan. Walaupun belum sepenuhnya berlandaskan pemikiran Hukum Lingkungan
Kepidanaan, namun putusan Majelis Hakim cukup beralasan, yaitu terdakwa
terbukti melakukan perbuatan membuang limbah industri tahu ke Kali Surabaya,
tetapi perbutan itu tidak merupakan satu tindak pidana, yakni tidak menyebabkan
tercemarnya lingkungan hidup. Terdakwa diputus : lepas dari segala tuntutan
hukum. Dapat dimengerti, karena alat buktinya limbah tahu, bukan air Kali
Surabaya yang sudah tercemar secara kumulatif. Air mempunyai sifat
“self-purification” kalau hanya menerima limbah.
2.5 Penyelesaian pada kasus Kali
Surabaya
Dengan demikian,
perbuatan terdakwa merupakan pelanggaran Hukum Lingkungan Administratif, yang
sanksinya diatur dalam Pasal 8 Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur
Nomor 414 tentang Penggolongan dan Baku Mutu Air Limbah di Jatim[11]:
Pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan tersebut dalam keputusan ini dan lampiran keputusan ini
dikenakan sanksi berdasarkan Ordonasi Gnagguan (stb. 1926 No. 226), UU No.
4/1982, UU No. 5/1984, dan peraturan pelaksanaannya, serta peraturan berikutnya
yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Dari
rumusan pasal 8 di atas, jelaslah bahwa sanksi perbuatan mekanggar Baku Mutu
Air Limbah tidak diatur sewaktu terjadinya kasus limbah tahu Sidoarjo baik
sanksi administrasi maupun sanksi pidana. Semua peraturan hukum yang dimaksud
dalam pasal 8 tersebut tidak mengatur tentang perbuatan “ Melanggar Baku Mutu Air Limbah”. Dapat dimengerti,
karena pada waktu itu (1987), pembuat peraturan masih dalam proses belajar
tentang hukum lingkungan. Hal ini terbukti dalam hal dari perbedaan
pengaturan sanksi yang kemudian diberlakukan terhadap perlanggaran sejenis,
yaitu pasal 33 PP No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air[12]:
Apabila pembuangan limbah cair melanggar ketentuan Baku Mutu limbah cair
yang telah ditetapkan dalam Pasal 15, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
mengeluarkan surat peringatan kepada penanggung jawab kegiatan untuk memenuhi
persyaratan baku mutu limbah cair dalam waktu yang ditetapkan.
Apabila pada waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
pembuangan limbah cair belum mencapai persyaratan naku mutu limbah maka
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I mencabut izin pembuangan limbah cair.
Dengan
berlakunya keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur No. 136 Tahun
1994 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Industri Atau Kegiatan Usaha Lainnya di
Jawa Timur, tanggal 21 November 1994, Keputusan Gubernur KDH tingkat I Jawa
Timur No. 414 Tahun 1987 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dari
ketentuan di atas Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa perbuatan ”Melanggar
Baku Mutu Air Limbah“ penyelesaiannya bukan melalui jalur pengadilan tetapi
merupakan pelanggaran hukum lingkungan administratif dengan konsekuensi sanksi
administrasi. Dewasa ini perbuatan tersebut tunduk pada pasal 33 PP No.20 Tahun
1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air jo. Keputusan Gubernur KDH tungkat I
Jawa Timur No. 136 Tahun 1994[13].
Setelah
keputusan PN Sidoarjo memutuskan membebaskan terdakwa dari segala hukuman maka
Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung
menyatakan mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi Jaksa Penuntut
Umum pada Kejaksaan Negeri Sidoarjo tanggal 6 Mei 1989 No. 122/pid/1988/PN.Sad.
Mahkamah Agung dalam putusan rek. 1479/K/pid/1989, tanggal 20 Maret 1993
memutuskan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
kejahatan “karena kelalaiannya melakukan oerbuatan yang menyebabkan tercemarnya
lingkungan hidup“. Kendatipun demikian, terdakwa “hanya” dihukum kurungan 3
(tiga) bulan dengan waktu percobaan 6 (enam) bulan, di samping itu terdakwa
juga dihukum dengan pidana denda dengan Rp 1.000.000, 00 (satu juta rupiah).
Berdasarkan
putusan Mahkamah Agung tersebut, Siti Sundari Rangkuti mengatakan bahwa perlu
dikaji Ratio Decidendi yang melandasi putusan, khususnya masalah pencemaran
itu:
1. MA mengakui bahwa
merupakan kewenangan aparatur tata usaha Negara untuk menentukan
batas kadar keamanan untuk masing – masing objek lingkungan yang harus
dilindungi. Sehubungan dengan itu, oleh pejabat TUN ditentukan pula standar
kadar limbah yang boleh dibuang ke air. Masalahnya adalah mengapa keputusan
pejabat TUN yang dilanggar dikenakan sanksi pidana oleh MA?
2. Pertimbangan MA yang cukup
memprihatinkan adalah menimbang bahwa walaupun secara individu membuang limbah
melebihi yang diperbolehkan An sich memang baru merupakan perbuatan yang
potensial dapat mencemarkan lingkungan, namun hal itu tidak berlaku dalam
perkara ini, karena dalam perkara ini kesalahan terdakwa merupakan satu dari
sekian banyak perusahaan yang membuang limbahnya ke sungai itu, maka pembuangan
limbah yang melampaui ambang batas yang diperbolehkan yang dilakukan terdakwa
(yang ternyata bersama – sama dengan perusahaan lain itu) harus dianggap
mencemarkan air sungai tersebut.
3. MA berpendapat bahwa,
berdasarkan keterangan – keterangan terdakwa, saksi – saksi serta bukti surat –
surat yang dihasilkan dalam persidangan, terdakwa harus dinyatakan telah
terbukti lalai memenuhi syarat- syarat pembuangan limbah yang baik dengan
demikian, terdakwa harus dinyatakan terbukti akan dakwaan subsidair.
Dari
berkas perkara putusan MA termaksud, tidak ditemukan argumentasi hukum
lingkungan bahwa karena kelalaiannya terdakwa terbukti melakukan perbuatan
menyebabkan tercemarnya air kali yang pembuktiannya menyimpang dari pasal 183
KUHAP yang berbunyi: “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurang nya 2 alat bukti yang sah, ia memperoleh
keyakinan bahwa sesuatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya”. Sampai sekarang belum ada aturan hukum yang
menyatakan bahwa perbuatan melanggar Baku Mutu Air Limbah adalah tindak pidana,
yang berarti terdakwa tidak melakukan delik lingkungan, sehingga dapat
dikatakan bahwa MA melanggar asas legalitas
(pasal 1 KUHP).
Menurut
Siti Sundari Rangkuti[14], sebenarnya kasus Sidoarjo
dapat diproses sebagai perkara pidana pencemaran air Kali Surabaya dengan
syarat agar unsur-unsur delik lingkungan sebagai delik materiil berhasil
dibuktikan. Untuk dapat dijadikan alat bukti adalah air Kali Surabaya, bukan
air limbah tahu sehingga dapat dibuktikan unsur hubungan kausal antara
perbuatan terdakwa dengan tercemarnya air Kali Surabaya. Dasar hukum yang
berlaku adalah keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur No. 413 Tahun 1987
tentang Penggolongan dan Baku Mutu Air di Jawa Timur. Prosedur pembuktian
didasarkan pada baku mutu air sebelum limbah tahu dibuang. Apabila setelah air
limbah tahu di buang ke Kali Surabaya, penggolongan dan
baku mutu air berubah menjadi turun kualitasnya, melalui ketentuan dalam
keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur No. 413 Tahun 1987, maka dapat
dikatakan bahwa perbuatan terdakwa melanggar pasal UULH (sekarang pasal 41-44
UULPH) tentang Tindak Pidana Lingkungan. Sebagaimana diketahui, delik lingkungan hanya menyangkut perbuatan konkret yang
dikenal dengan istilah strafbaar feit.
Dengan
mengkaji putusan MA tentang kasus limbah tahu di atas sebagai bahan pemikiran
dapatlah dikemukakan bahwa putusan MA itu :
1.
Melanggar asas legalitas.
2.
Melanggar baku mutu air limbah tanpa dasar hukum yang
konkrit yang dinyatakan sebagai delik.
3.
Pengertian delik pencemaran air dalam pasal 22 UULH
tidak dikaitkan dengan pasal 1 angka 7 UULH;
4.
Tidak sesuai dengan pasal 183 KUHAP tentang alat
bukti.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penataan hukum lingkungan di Indonesia khususnya dalam
hal penegakannya masih belum efektif terbukti dengan adanya pembuangan limbah
industri yang dilakukan oleh PT. Marimas di Semarang yang mengakibatkan
tercemarnya air yang berada di lingkungan sekitar pabrik yang menimbulkan keresahan warga sekitar.
Padahal air merupakan hal yang sangat penting dalam menunjang kehidupan
manusia. Padahal ada banyak sekali langkah penegakan hukum yang dapat dilakukan
mulai dari saksi administrative, sanksi keperdataan dan sanski kepidanaan.
Sebab dalam menerapkan saksi hukum sebaiknya dijatuhkan sanksi yang tepat serta
dapat mencakup komposisi dari fungsi hukum itu sendiri seperti kepastian,
kemafaatan, dan keadilan serta tidak menimbulkan kerasahan pada masyarakat.
3.2 Saran
Pemerintah seharusnya lebih
menaruh perhatian lagi dalam upaya pengelolaan maupun pelestarian lingkungan hidup.
Tidak hanya sekedar dalam pembuatan regulasi atau peraturan perundang-undangan
saja tetapi juga pada pengawasan penegakannya, terutama pada proses penegakan
di dalam pengadilan. Jangan sampai terjadi majelis hakim di suatu peradilan
dapat lalai dalam memutus suatu perkara karena perbedaan penafsiran hukum atau
peraturan perundang-undangan. Mungkin perlu ditunjuk majelis hakim yang tidak
hanya berkompeten di bidang hukum tetapi juga memiliki kepedulian terhadap
lingkungan yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR BUKU
Muhamad, Erwin. 2011. Hukum Lingkungan : Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan
Hidup. Bandung: PT Refika Aditama
Rangkuti, Siti Sundari. 1986. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan dalam Proses Pembangunan
Nasional,(Disertasi). Surabaya: Fakultas Pascasarjana Universitas
Airlangga.
Salim, Emil.
1985. Lingkungan Hidup Dan Pembangunan.
Jakarta: PT Mutiara Offset
Sastrawijawa, A.
Tresna. 2000. Pencemaran Lingkungan.
Jakarta: PT Asdi Mahasatya
Sudikno, Mertokusumo. 1988. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),
Yogyakarta: Liberty.
Sunu, Pramudya. 2001. Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001. Jakarta : PT Grasindo
Supriadi. 2006. Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta : PT Grafika Offset
Wijoyo,
Suparto. 1999. Penyelesaian Sengketa
Lingkungan (Setelement of Environmental Dispute). Surabaya: Airlangga
University Press.
DAFTAR UNDANG-UNDANG
Undang-Undang No. 32 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang No.23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
PP No. 20
Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air
Lihat,
Penjelasan Umum Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Lihat, Pasal 1 angka 20 Umum Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Lihat, Pasal 1 angka 1 Umum Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Lihat,
Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkunagan Hidup.
Sudikno,
Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm.
134-135.
Lihat, Pasal 8 Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur Nomor 414 tentang
Penggolongan dan Baku Mutu Air Limbah
Lihat, Pasal 33 PP No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air